Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai
anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru,
lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah
yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah
kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan
ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang
terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung
padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan
nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan
daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai
anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu
hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan
nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk
kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk
berbuat zina.”[12]
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
- Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.[13]
- Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
- Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]
- Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[17]
Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan
dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang
bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat.
Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk
melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan
semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan
islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan
nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati.
Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya
dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk
mendengarnya.”[18]
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni
(yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada
orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan
dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin
adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang
ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan
hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang
kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka
pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun
tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan
kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar
bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an,
hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering
keliru.”[19]
Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya
dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak. Melatunkan bait syair
(nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
- Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
- Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
- Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
- Tidak diiringi alat musik.
- Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
- Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
- Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
- Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]
Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan
musik adalah Al Qur’an. Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan
lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena inilah
yang disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa
bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan murid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang.
Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an
memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai
bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk
menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang
mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada
hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[22]
Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena
terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang meninggalkan musik dan
nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena
Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih
baik.”[23]
Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari
sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah
diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya
perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan
ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap
orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
0 Komentar